dailykota.com PALU – Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di berbagai wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng) terus menuai reaksi keras dari berbagai kalangan, ermasuk pegiat lingkungan, akademisi, dan aparat hukum, seperti yang terjadi di Kelurahan Poboya dan Tondo, Kota Palu.
Mereka sepakat bahwa kegiatan tanpa izin ini menimbulkan dampak negatif dari berbagai sisi. Mulai dari kerusakan ekologi akibat pembukaan lahan yang sembarangan, hingga kerugian ekonomi bagi daerah dan negara.
Berdasarkan data yang di himpun, luas lahan yang di gunakan untuk PETI di Poboya dan Tondo mencapai 10,5 hektare, tersebar di empat titik. Lokasi pertama adalah bekas tambang lama seluas 1,5 hektare, sementara tiga lokasi lainnya, yaitu Kijang 30, Vatutela, dan Vavolapo, masing-masing seluas 3 hektare.
Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng, satu kali pemurnian PETI dapat menghasilkan 3 kilogram emas dalam jangka waktu tiga bulan.
“JATAM memperkirakan dalam setahun, PETI di Poboya bisa menghasilkan 12 kilogram emas. Yang jika di konversikan, cukup untuk menyekolahkan 10 ribu anak dari SD hingga SMP,” kata Koordinator JATAM Sulteng, Mohammad Taufik, Jumat, 13 September 2024.
Ia menambahkan, hasil tersebut bisa lebih besar karena aktivitas PETI di lakukan dalam skala besar dan melibatkan banyak penambang. Taufik mendesak pihak kepolisian segera menangkap cukong yang menggerakkan aktivitas ilegal ini.
Ia menekankan pentingnya penindakan terhadap cukong agar aktivitas PETI bisa di tekan.
“Jika cukongnya di tindak tegas, penambang akan berkurang dan akhirnya menghilang,” ujarnya.
Tidak hanya mengancam lingkungan, aktivitas PETI juga membahayakan nyawa para penambang.
Menurut Kabag Ops Polresta Palu, Kompol Romy Gafur, aktivitas PETI memperbesar risiko longsor. Terutama saat hujan, yang bisa mengancam nyawa penambang. Selain itu, kerugian daerah akibat PETI di perkirakan mencapai miliaran rupiah.
Kerusakan Lingkungan yang Parah
Pakar ekologi, Dr. Ir. Abdul Rosyid, menegaskan bahwa aktivitas PETI pasti merusak ekosistem. Jika satu rantai ekosistem terganggu, seluruh sistem terancam.
“Hutan yang menjadi habitat flora dan fauna akan rusak, mengganggu kehidupan satwa hingga mengancam kepunahan,” jelas Abdul Rosyid, Jumat, 6 September 2024.
Kerusakan habitat ini menyebabkan satwa liar harus bermigrasi atau mati. Proses reproduksi mereka juga terganggu, perlahan tapi pasti menuju kepunahan.
“Penambangan ilegal di hulu sungai akan berdampak hingga hilir, bahkan laut,” lanjutnya.
Air sungai yang tercemar zat kimia pemurnian emas akan membawa dampak buruk hingga ke laut, mencemari biota laut dan mengurangi jumlah ikan. Hal ini tentu merugikan nelayan.
Menurut Abdul Rosyid, kerugian daerah akibat PETI tidak bisa di ukur dengan pasti. Tapi semakin besar aktivitasnya, semakin besar pula kerugian yang di alami.
“Dana untuk rehabilitasi lingkungan pasti lebih besar di bandingkan modal para pelaku PETI,” ujarnya.
Ia berharap selain penegakan hukum, pemerintah juga perlu memberi edukasi kepada masyarakat agar tidak lagi terlibat dalam aktivitas PETI.
“Pemerintah harus peduli, agar masyarakat tidak lagi melakukan penambangan ilegal,” tutupnya. (*)